Tentang Perpindahan

Beberapa hari yang lalu saya nonton film Manusia Setengah Salmon karya Raditya Dika. Tema yang diusung dalam film tersebut sangat menarik, tentang perpindahan yang kemudian dianalogikan sampai perjalanan hati. Akan lebih mudah jika menganalogikan sesuatu dengan kehidupan sehari-hari dan film Manusia Setengah Salmon sukses membius jutaan fans Raditya Dika. Yes, i’m one of million people who love Raditya Dika ❤ .

moving on source: vector.rs

Raditya Dika ini unik. Sebagai fans lama, sejak kemunculan Raditya Dika yang menambah deretan penulis komedi pasti jenuh dengan gaya tulisan yang sama sekali tidak berkembang tapi anehnya karyanya tetap berjaya. Apa sih yang bikin karya Raditya Dika tetap digemari pembaca? Karena tidak ada perubahan dari gaya dan cara penuturan dalam karyanya yang justru membuat bertahan dalam keganasan munculnya penulis-penulis komedi baru. Segmentasi Raditya Dika adalah remaja. Dia fokus dengan segmentasinya tersebut sehingga fans lama yang dulunya remaja dan sekarang tumbuh dewasa akan tetap mencintai karyanya. Fans yang lama masih setia meskipun lawakannya sudah nggak sesuai dengan usia dan fans yang baru (remaja) pun mengikuti.

Saya lagi tertarik dengan tema perpindahan, karena beberapa kali saya harus berpindah-pindah tempat dan beradaptasi dengan lingkungan baru yang terkadang kurang menyenangkan lalu memutuskan untuk pindah lagi. Capek? Iya, tapi…..saya malah bahagia 🙂

Hidup penuh dengan ketidakpastian, tetapi perpindahan adalah salah satu hal yang pasti. Kalau pindah diidentikkan dengan kepergian, maka kesedihan menjadi sesuatu yang mengikutinya….. Padahal, untuk melakukan pencapaian lebih, kita tak bisa hanya bertahan di tempat yang sama. Tidak ada kehidupan lebih baik yang bisa didapatkan tanpa melakukan perpindahan. via goodreads

Siapa sih yang tahu tentang masa depan? Setelah lulus kuliah nanti apakah masih menetap di kota yang menjadi tempat kita menempa ilmu? Nggak ada yang tahu kan? Karena hidup itu penuh dengan ketidakpastian, random, dan mau nggak mau harus dihadapi. Berada dalam wilayah yang sama dalam waktu yang cukup lama, apalagi tempat yang sama saat menempuh sekolah atau kuliah pasti menyenangkan. Iya, tapi jarang yang bisa berkembang karena terlalu nyaman. Pergaulan pun jadi terbatas. Perpindahan akan menjadi satu hal yang pasti setelah lulus kuliah. Nggak jarang banyak yang mewek-mewek karena masih nggak rela berpisah dari tempat yang sudah memberikannya banyak kenangan. Ada saatnya kita pergi untuk menjemput mimpi yang dulu hanya menjadi imaji. Masa depan sudah menanti dan kamu masih menangis nggak rela hanya karena perpindahan. Ada kalanya tempat yang dulunya sering kita datangi pada akhirnya hanya akan menjadi kenangan di hati. Semuanya memang butuh proses tapi kalo sampai berlarut-larut itu namanya lebai. Lebai itu tandanya masih alay. Alay itu identik dengan ABG, cabe dan terong (Lah, siap bikin sambel deh ini) 😀

Kalau sudah nyaman, kenapa pindah? via goodreads

Nggak ada yang lebih menyenangkan dari bergaul dengan orang yang sangat kita kenal. Iya, bener banget. Tapi tahukah kamu kalo bergaul dengan orang baru akan memberikan wawasan yang baru pula. Alasan sudah nyaman sama sekali tidak akan membuat kamu berkembang. Tempat yang sudah nyaman sama sekali nggak ada tantangannya, jadi rasa kometitif pun berkurang. Mencoba hal yang baru itu nggak ada salahnya kok, karena dalam setiap hal baru terebut banyak yang bisa dipelajari, banyak pula ilmu yang bisa dicuri. Teman-teman yang lain sudah berani melangkah pelan-pelan meninggalkan tempat yang menurutnya nyaman. Masak kamu masih diam berdiri di tempat yang sama dan nggak mau menjejaki tempat lainnya?

Akhirnya kembali pada pilihan masing-masing, menuruti ego atau berfikir selangkah lebih maju. Percaya deh, kalo kita berani melangkah lebih jauh dari zona nyaman pasti akan lebih menyenangkan. Kalo belum dicoba, nggak bakalan tahu hasilnya kan?!

Arung Jeram di Sungai Elo Magelang, siapa takut?

Diobok-obok airnya diobok-obok. Ada ikannya kecil-kecil pada mabok.

Lagunya Joshua terngiang sepanjang perjalanan menuju lokasi arung jeram di sungai Elo Magelang. Kekanak-kanakan banget kan? Tapi kalo udah ngomongin main air, orang yang udah berumur pun pasti senengnya ngalah-ngalahin balita deh. FYI, saya masih ABG (lah terus?).

Siang yang lumayan terik, kami menembus jalanan aspal hitam dari Jogja menuju Magelang di daerah komplek Candi Mendut. Perjalanan yang memakan kurang lebih satu jam itu nggak bakalan berasa banget kalo disambi ngobrol ato nyanyi *muter lagu diobok-obok*

Banyak pilihan agen arung jeram yang menawarkan pengarungan di sungai Elo dan Progo Atas. Kalo mau ngetik di gugel juga udah banyak infonya. So, jangan malas gugling ya! Diantara banyak agen, pilihan kami jatuh pada Mendut Rafting karena rekomendasi dari seorang teman. Lalu kenapa kami memilih sungai Elo? Sungai Elo mempunyai tingkat kesulitan grade 3 dengan jarak tempuh 12km. Artinya, grade 3 masih aman dilakukan oleh pemula. Tapi kalo sudah pernah nyoba arung jeram di Sungai Elo boleh coba arung jeram di sungai Progo Atas (grade 3+ dengan jarak tempuh 9km) yang lebih menantang.

Masih asyik bernyanyi lagu diobok-obok, eh kok udah nyampe di lokasi Mendut Rafting. Setelah sampai di basecamp, kami disambut hangat oleh pemilik basecamp. Beliau yang ramah langsung menunjukkan tempat untuk kami istirahat setelah menempuh perjalanan.

Jadwal pengarungan sekitar pukul 2 siang, pas nggak terlalu panas juga nggak kesorean setelah sampai finish nanti. Kenyang sama cemilan-cemilan pengisi perut sementara (iya, nanti ada ronde kedua), kami ganti baju perang (lah dikira mau tembak-tembakan). Dari basecamp kami sudah menggunakan helm dan pelampung. Mobil yang mengangkut perahu sudah parkir di depan basecamp, sebentar lagi kami diboyong menuju lokasi start point di Blondo. Perjalanan ke lokasi start rafting lumayan jauh, sekitar 15-20 menit. Lumayanlah kalo ditinggal merem bentar 😀

Sampai di lokasi start point, kami dipandu oleh seorang skipper. Nah, skipper ini adalah orang yang bertanggungjawab atas penumpang perahu saat di atas air. Skipper duduk paling belakang dan mengarahkan perahu supaya tetap berjalan lancar jangan sampai nyangkut diatas batu. Loh kok nyangkut diatas batu sih, katanya main di air? Weits, sebentar saya jelasin. Dibawah air sungai yang keruh dengan kedalaman yang berbeda pula (debit air juga mempengaruhi. Jika musim hujan debit air tinggi, kemungkinan perahu nyangkut diatas batu sangat kecil. Kalo musim kemarau debit air rendah, yang terjadi akan sebaliknya) ada batu-batu beraneka bentuk, yang kecil maupun besar. Terkadang jika debit rendah, batu tersebut sering mengganggu jalannya perahu sehingga nggak jarang sampai nyangkut dan perjalanan berhenti sejenak. Tenang saja, skipper adalah orang yang sudah makan asam garam dunia perarungan. Skipper yang handal pasti bisa mengatasi masalah tersebut dengan mudah.

Perahu dari angkutan yang dibawa dari basecamp diturunkan bareng-bareng. Sudah ada petugasnya juga kok, kita mah cukup bantuin bawain dayung. Sebelum mulai pengarungan, skipper selaku leader selama 3,5-4 jam ke depan memberikan instruksi untuk pemanasan kemudian dilanjutkan dengan instruksi yang berkaitan saat pengarungan. Skipper mengajari bagaimana cara memegang dayung yang benar, dayung maju, dan dayung mundur. Ketika skipper bilang stop (saat pengarungan) maka awak perahu wajib menyetop dayungan dan skipper bisa mengarahkan perahu dengan memafaatkan momentum jeram. Kita sebagai awak perahu malah diuntungkan karena nggak perlu capek-capek dayung. Hal yang wajib dan harus dilakukan saat arung jeram adalah TERIAK. Kena atau nggak kena air pokoknya, TERIAK. AAAAAAAKKK! AAAAKKK!! *lalu diceburin ke dalam air karena berisik*

fun5

Pemanasan sebelum pengarungan

fun6

Foto dulu sebelum basah kena air

Yak! Pengarungan dimulaiiii…..:-) Baca lebih lanjut